Selasa, 26 Agustus 2008

Hujan Itu

Waktu itu pagi yang ditemani cahaya mentari
Menembus pepohonan hijau di beranda rumah

Agak silau kutatap wajahmu nan ayu...
Cahaya itu berjalan menghampiri mata

Dan relung jiwa dari sela-sela helai rambutmu
Engkau tersenyum, cerah, secerah pancaran sinar yang semburat Dari tetes embun di dedaunan...

Aku masih belia untuk mengerti gelap malam tanpa rembulan ataupun gemintang yang kadang terlalu malas untuk tersenyum.
Aku hanya mengerti bahasa kalbu dari senyum mu.
Senyuman bak siloka yang tak pernah berakhir...

Kau ajarkan aku menatap kerasnya terik sang surya
Melalui lelehan keringat yang terseka telapak tanganmu nan lembut

Bunda...tak perlu engkau berjalan terlalu jauh hanya untuk senandungkan nada cinta untukku
Sudahlah....bahkan samudra itu takkan pernah bisa berangkuh diri dengan kedalamannya dibandingkan cintamu...
Seribu bintang takkan bisa melukiskan warna cintamu untukku

Aku tahu bunda....
Aku mengerti...telah lama kisah cinta yang kudengar dari burung-burung bernyanyi tentang bagaimana engkau menimangku dengan nada-nada surgawi dari bibirmu

Katakanlah bunda....
Apakah engkau marah ketika kuletakkan debu-debu ditelapak kakimu?
Aku tak mampu bunda...samudera cintamu yang tak bertepi itu takkan pernah bisa kutebus hanya dengan titik air mataku...
Tapi setidaknya bunda....aku harapkan air mataku akan menari hingga membuatmu tersenyum dan memaafkan segala kesalahanku...

Katakanlah bunda....
Maukah engkau memaafkanku?

Tidak ada komentar: